kantongberita.com, TAPSEL | Sampah, identik dengan sesuatu yang tidak terpakai dan tidak bernilai.
Di sebuah Desa di Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, sampah malah dimanfaatkan oleh sebagian warganya sebagai objek mencari cuan.
Sampah-sampah tersebut diperoleh warga dari tetangganya, yang kemudian diolah menjadi sebuah barang yang bernilai rupiah.
Desa tersebut bernama Sumuran, salah satu desa yang menjadi tetangga dekat Tambang Emas Martabe, yang dikelola oleh PT. Agincourt Resources (PTAR).
Ya, sampah yang dimaksud berasal dari PTAR, berupa Pallet atau benda berbahan kayu yang menjadi alas pengangkutan barang ekspedisi kebutuhan pertambangan.
Sampah Pallet ini kemudian diolah oleh tangan-tangan handal warga Sumuran hingga menjadi sebuah Furniture atau Perabot yang berkualitas tinggi.
Pada 6 Maret 2024, PTAR mengadakan sebuah kegiatan Capacity Building, dimana beberapa wartawan dari berbagai media diberi kesempatan oleh PTAR berkunjung ke beberapa lokasi yang merupakan binaan PTAR dalam kegiatan pelestarian lingkungan dan pemberdayaan Ekonomi masyarakat lingkar Tambang. Salah satunya, lokasi pengolahan sampah Pallet, yang berada tidak jauh dari titik Tambang.
Hal pertama yang terfikir saat pertama kali memijakkan kaki di lokasi pengolahan Pallet tersebut, “benar-benar perusahaan yang peduli lingkungan”.
Ya, karena lokasi pertukangan Perabot ini berada di pinggiran desa, jauh dari pemukiman penduduk.
Dari sini, PTAR berhak mendapatkan predikat sebagai “tetangga yang ramah dan peduli dengan lingkungan sekitarnya”. Wajar saja predikat tersebut disandang oleh perusahaan ini, karena PTAR terbukti mampu menjalin kerjasama dengan masyarakat sekitarnya dalam menjaga dan melestarikan lingkungan.
Bayangkan saja, perusahaan ini tidak hanya memikirkan hal yang seremonial, dari upayanya membantu kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Perusahaan tambang yang satu ini bahkan memikirkan dampak negatif yang kemungkinan terjadi dari kegiatan pengolahan Pallet terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
Seperti diketahui, dalam mengolah kayu Pallet menjadi Perabot seperti meja, kursi dan lemari, tentu akan ada suara bising yang dihasilkan dari mesin dan alat pertukangan. Begitu juga dengan abu atau debu yang beterbangan saat pengolahan, serta tumpukan sisa bahan baku yang dimungkinkan juga dapat mengganggu aktifitas masyarakat lainnya.
Sehingga, untuk menghindari hal itu, dibutuhkan lokasi yang sepi, jauh dari pemukiman warga.
Upaya seperti ini merupakan salah satu komitmen dari PTAR dalam menerapkan sistem ESG (Environmental, Social, and Governance) dalam menjalankan roda perusahaannya, serta telah menjadi konsep dalam mengedepankan kegiatan pembangunan, investasi maupun bisnis yang berkelanjutan.
ESG juga sangat baik untuk mengetahui bagaimana standar yang digunakan dalam mengelola investasi berdasarkan kebijakan perusahaan yang wajib melakukan implementasi terhadap prinsip pelestarian lingkungan, tanggung jawab sosial serta tata kelola yang sesuai.
Sejalan dengan itu, pada kunjungan wartawan di hari yang cerah dan cukup mengasyikkan tersebut, banyak fakta yang terungkap dari upaya-upaya yang dilakukan oleh PTAR terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya.
Dimulai dari rasa ingin tahu para penyaji berita tentang cara pengolahan Pallet menjadi sebuah Perabot, hingga terik mentari yang terus menusuk kulit tidak mampu mematahkannya.
Begitu juga dengan rasa lelah dan keringat yang mengucur deras juga terasa tidak berarti dibandingkan ilmu dan informasi yang diperoleh dari kunjungan tersebut.
Karena, dari perjalanan ini, wartawan dapat menyaksikan langsung bagaimana PTAR tak hanya mampu melestarikan lingkungan, tapi juga mampu memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya, dengan sebuah pendampingan dan pembinaan, hingga tercipta sebuah karya yang bernilai rupiah dari potongan kayu Pallet.
Tampak di lokasi, para pengrajin telah mahir dan telaten dalam memainkan setiap alat pertukangan. Dari mulai pembongkaran Pallet, pemotongan hingga merakitnya kembali menjadi Furniture.
Ternyata, PTAR dalam membina warga Desa Sumuran ini tidak semata memberikan bahan untuk diolah para pengrajin. Melainkan, juga membekali mereka dengan ilmu, cara mengolah Pallet bekas menjadi sebuah Perabot.
Seperti diungkapkan salah seorang pengrajin yang ditemui para wartawan saat itu di lokasi pertukangan, bahwa pencapaian yang saat ini mereka peroleh, tidak terlepas dari peran penting PTAR dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar Tambang.
Bahkan saat ini, jumlah warga Desa Sumuran yang menggantungkan hidupnya lewat pertukangan Perabot ini tercatat lebih dari 25 orang.
Bayangkan, bagaimana besarnya perjuangan perusahaan tambang ini dalam mensejahterakan masyarakat Desa Sumuran yang merupakan tetangga dekatnya.
“Sebelumnya kami pengangguran, gak tahu apa-apa. Sekarang, yang bekerja sudah ada 10 orang. Kalau jumlah semuanya lebih 25 orang,” kata Sidik Tanjung, salah seorang pengurus pertukangan.
Perjuangan PTAR tidak sampai disitu, dari Sidik juga diketahui bahwa seluruh alat pengolahan atau pertukangan yang ada, diperoleh warga dari PTAR, hingga akhirnya berdirilah sebuah Koperasi tempat mereka bernaung, yang diberi nama “Sarop Do Mulana”.
Nama ini cukup unik, diambil dari bahasa daerah sekitar atau bahasa Angkola, yang artinya “Berawal dari sampah”.
Ya, sesuai namanya, semua berawal dari sampah tetangga, hingga menghasilkan produk yang bernilai ekonomis, yang menjadi salah satu sumber pencaharian warga Desa Sumuran.
Menurut Sidik, ceritanya dimulai dari pembuatan Sodas atau media tanam yang terbuat dari abu sisa pemotongan kayu Pallet.
Di tahun 2016, kemudian lahirlah sebuah ide kreatif dari PTAR untuk mengolah Pallet menjadi Perabot. PTAR kemudian mengadakan pelatihan terhadap warga yang memiliki bakat dalam dunia pertukangan.
Ternyata, usaha PTAR untuk mensejahterakan tetangganya tersebut, tidak sia-sia, Koperasi Sarop Do Mulana akhirnya mulai produksi setahun kemudian tepatnya tahun 2017 hingga saat ini.
Menurut catatan Koperasi sendiri, usaha Perabotan yang telah mampu mandiri ini terus mengalami perkembangan setiap tahunnya, dengan jumlah omzet yang terus melejit.
“Di tahun 2023, menurut catatan kami penghasilan mencapai Rp273 juta,” ungkap Sidik yang juga menjabat sebagai Sekretaris Koperasi Sarop do Mulana.
Selain karena tekat dan ketekunan, kualitas hasil produksi juga melatar belakangi peningkatan penghasilan Koperasi ini.
Meski berasal dari sampah Pallet, namun kualitas Perabot yang dihasilkan Koperasi Sarop Do Mulana ini, tergolong tinggi. Ditambah dengan harganya yang relatif murah bila dibandingkan dengan produk sejenis hasil produksi produsen lain di pasaran.
Karena, kayu Pallet yang dipakai dalam pembuatan Perabot di pertukangan ini, merupakan jenis kayu Jati Belanda, yang dikenal kuat dan tahan lama.
Dari upayanya ini, PTAR berharap usaha yang dikelola oleh Koperasi Sarop Do Mulana dapat berkelanjutan untuk peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakat sekitar.
Bahkan hingga akhir masa beroperasinya Tambang Emas Martabe dikemudian hari, Koperasi Sarop Do Mulana dapat tetap berdiri kokoh dengan produk yang mampu bersaing tidak hanya di pasar Tapanuli Selatan, Sidempuan, Tapanuli Tengah dan Sibolga, melainkan hingga pasar kota Metropolitan, seperti Medan dan Jakarta. (ts)