Bupati Tapteng Mediasi Sengketa Lahan Poktan Dosniroha dengan PT. SGSR; Ini Bunyi Kesepakatan Kedua Belah Pihak

Foto : Perwakilan PT. SGSR membeberkan foto bukti pengrusakan lahan oleh Kerbau milik warga Poktan Dosniroha.

Kantong Berita, TAPTENG-Pertemuan antara Kelompok Tani (Poktan) Dosniroha dengan pihak PT. SGSR (Sinar Gunung Sawit Raya) akhirnya digelar di ruang Cendrawasih Kantor Bupati Kabupaten Tapanuli Tengah, Jumat (8/10).

Selain kedua pihak yang bersengketa, pada pertemuan yang dimediasi oleh Bupati Tapteng Bakhtiar Ahmad Sibarani tersebut, juga hadir perwakilan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Mewakili BPN Tapteng, Rikardo Sembiring menjelaskan, sesuai data yang mereka miliki, PT. SGSR memiliki 3 sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) dengan luas lahan 6957,06 Ha.

“PT. SGSR memiliki 3 sertifikat HGU. Di Desa saragi yang kini menjadi Kelurahan PO. Manduamas dengan luas 5315,7 Ha, tertanggal 7 Desember 1993. Kedua di Kelurahan PO. Manduamas HGU nomor 1 dengan luas 701,760 Ha, tertanggal 20 Januari 2011. Ketiga HGU nomor 2 dengan luas 939,50 Ha juga terbit tanggal 20 Januari 2011. Total HGU keseluruhan 6957,06 Ha,” ungkap Rikardo.

Sementara, Manager Umum PT. SGSR, Bokare Tua Sihotang yang hadir bersama 4 karyawan lainnya pada kesempatan tersebut membeberkan semua bukti kerusakan lahan yang diakibatkan ternak kerbau masyarakat.

“Sebelumnya kita punya izin prinsip 10.000 Ha melalui Keputusan Gubernur tahun 1990 nomor 593.41/1069/K. Ditetapkan di Medan 21 april 1990. Sekarang ada 11 afdeling, semua sudah rusak akibat kerbau,” Beber Bokare sambil memperlihatkan foto-foto lahan yang rusak.

Luasnya lahan yang rusak kaga Bokare, karena jumlah kerbau yang berada di lahan tersebut berjumlah sekitar 6.000 ekor.

“Perkiraan kami, jumlah kerbau yang masuk lahan sekitar 5500 sampai 6000 ekor,” ungkapnya.

Usai mendengar penjelasan dari pihak PT. SGSR dan BPN, Bupati kemudian mengambil beberapa kesimpulan, diantaranya, meminta BPN untuk mengukur ulang luas HGU yang dikuasai oleh PT. SGSR.

Kemudian, akan membentuk tim pengukuran serta pengecekan ulang HGU yang dikuasai oleh PT. SGSR.

PT. SGSR diwajibkan memulai pembangunan jembatan paling lambat 20 Januari 2022.

Apabila PT. SGSR terbukti menguasai lahan diluar HGU yang sudah ditetapkan, PT SGSR akan menerima konsekuensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya, ternak masyarakat/Kelompok Tani Dosniroha tidak bisa memasuki lahan HGU PT. SGSR. Keputusan tersebut berlaku setelah diadakan pengukuran sesuai ketentuan yang berlaku.

Semua pihak juga diminta untuk menahan diri, tidak boleh melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Dan yang terakhir, setelah poin-poin tersebut dilakukan, maka akan diadakan pertemuan kembali untuk kemudian secara musyawarah melaksanakan kesepakatan yang sudah ditetapkan.

“Kami hanya memfasilitasi pertemuan terkait persoalan ternak kerbau dan kebun sawit. Pemkab (Tapteng) mendukung semua pihak bekerja sesuai ketentuan. Perlu diketahui, kalau BPN bukan dibawah naungan Pemkab Tapteng,” kata Bakhtiar.

Kesimpulan Bupati tersebut kemudian diterima keduabelah pihak yang bersengketa.

Mereka sepakat berdamai dan bersedia menerima konsekuensi dari hasil pengukuran pihak BPN.

Kapolres Tapteng AKBP Jimmy C Samma menyambut baik kesepakatan tersebut. Karena menurutnya, surat kesepakatan yang telah ditandatangani bersama akan menjadi dasar bagi pihaknya untuk menghukum pihak yang melanggar.

“Kesepakatan ini nanti dasar kedua belah pihak menaati. Apabila melanggar aturan, kita tindak sesuai hukum yang berlaku. Harapan semoga berada ditempat yang benar,” kata Kapolres.

Diakhir pertemuan, Jetua Simarmata yang mewakili Kelompok Tani Dosniroha membeberkan nama-nama pemilik kerbau yang menempati lahan sengketa.

Hadir pada pertemuan tersebut, Wakil Ketua DPRD Tapteng Willy Silitonga, Sekdakab Tapteng, Yetti Sembiring dan beberapa OPD Pemkab Tapteng.

Sebelumnya, warga Kecamatan Andam Dewi yang tergabung dalam Poktan Dosniroha bersengeta dengan sebuah perusahaan kebun sawit PT. SGSR. Poktan Dosniroha menganggap tanah yang mereka jadikan sebagai Peternakan kerbau tersebut bukan milik PT. SGSR, meski telah ditanami sawit. Mereka menuduh kalau PT. SGSR telah memperluas lahan, sehingga tidak lagi sesuai dengan sertifikat HGU yang dimiliki.

Akibatnya, sawit yang telah tumbuh pun dirusak oleh kerbau-kerbau warga yang dilepas di lahan tersebut.

Sebaliknya, PT. SGSR menyebut lahan tersebut masih termasuk dalam sertifikat HGU yang mereka miliki. Oleh karena itu, PT. SGSR kemudian memagar lahan tersebut, agar kerbau warga tidak lagi masuk dan merusak tanaman mereka.

Warga yang bersikukuh dengan pendapatnya kemudian melakukan upaya paksa menguasai lahan tersebut, hingga terjadi pengrusakan.

Pihak perusahaan yang tidak terima dengan perbuatan warga Poktan tersebut kemudian melapor ke Polisi, hingga akhirnya 5 orang ditetapkan sebagai tersangka dan telah ditahan di Polres Tapteng. (red)